Bagaimana Social Entrepreneurship Tumbuh dan Berkembang di Welfare State?

Bagaimana Social Entrepreneurship Tumbuh dan Berkembang di Welfare State?

01 Apr 19 Admin AKM Simpan PDF

Saat ini konsep social entrepreneurship atau wirausaha sosial berkembang sebagai solusi dari berbagai masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan. Wirausaha sosial juga muncul dari kelompok masyarakat yang melihat berbagai tantangan dan melihat potensi pengembangan usaha yang tidak selalu fokus pada profit. Akan tetapi terdapat aspek sosial, pelibatan kelompok marginal, serta penyelesaian isu lingkungan tertentu. Munculnya fenomena wirausaha sosial ini tidak terlepas dari konsep charity yang berkembang sebelumnya di negara-negara Eropa.

Sepulveda (2014) menjelaskan bahwa konsep social entrepreurship dan social enterprise dapat dilacak sejak abad 19 di negara-negara Eropa. Perkembangan tersebut tidak lepas dari berkembangnya pasar dan industrialisasi. Serta ada pula organisasi non pemerintah dan organisasi non privat tradisional yang aktif melakukan kegiatan sosial dan charity. Akan tetapi dipicu hegemoni ideologi neo-liberal yang sangat mengutamakan proses industri dan produksi memunculkan kritik terhadap keabaian industri pada aspek sosial dan lingkungan dari kelompok non privat dan non pemerintah. Sehingga memunculkan “third sector” yang mengembangkan model usaha sosial atau social enterprise.  

Dinamika dalam negara-negara Eropa yang telah melalui berbagai fase industrialisasi, mempengaruhi saat ini beberapa negara menganut paham welfare state. Konsep welfare state merujuk pada besarnya peran negara dalam memberikan perlindungan sosial kepada masyarakat. Kenton (2017) menyebutkan prinsip welfare state yaitu kesetaraan dan kesamaan kesempatan, pemerataan distribusi kesejahteraan, dan tanggung jawab publik untuk menyediakan kebutuhan bagi orang-orang dan kelompok yang tidak mampu memenuhinya secara mandiri.

Esping Andersen (1990) mengategorikan tiga welfare state, yaitu liberal regimes yang memberikan perlindungan sosial bagi kelompok miskin. Kedua, conservative regimes, dimana perlindungan dan jaminan sosial idealnya diserahkan kepada keluarga. Negara akan ikut membantu melalui mekanisme tersebut. Ketiga, social democratic, negara memberikan pelayanan dan perlindungan universal bagi masyarakat sesuai standar. Terdapat beberapa negara yang menggunakan konsep  dengan konsep social democratic, seperti Denmark, Finlandia, Norwegia, dan Swedia.



Sumber: Diolah dari Global Entrepreneurship Index 2018

Hal yang menarik adalah negara-negara welfare state tersebut memberikan jaminan sosial bagi masyarakat. tetapi disisi lain social entrepreneuship pun berkembang dengan cukup masif. Pada diagram 1 dapat dilihat bagaimana wirausaha di negara-negara welfare state sangat tinggi dan masuk dalam 25 negara dengan skor di global entrepreneurship index tertinggi pada tahun 2018.

Report tersebut mengkaji bagaimana perkembangan entrepreneurship di berbagai negara dengan beberapa indikator. Sub indikator pertama yaitu attitudes yang berisi kesadaran akan peluang, startup skills, risk acceptance, networking, dan cultural support. Pada indikator ini Finlandia memiliki skor paling tinggi dibandingkan negara welfare state lain, yaitu 79. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di Finlandia memiliki pandangan yang positif akan wirausaha dan memiliki skill untuk mengembangkannya. Kondisi tersebut terjadi karena didukung oleh sistem pendidikan sehingga pengetahuan dan keahlian wirausaha juga didapatkan. Ada pula dukungan dari sistem pemerintah seperti kemudahan berusaha, perlindungan hak cipta, serta isu korupsi yang rendah.

Indikator berikutnya yaitu abilities yang terdiri dari opportunity startup, technology absorption, human capital, dan competition. Pada indikator ini, Denmark mendapat skor tertinggi dibandingkan yang lain, yaitu sebesar 84,5. Angka tersebut menunjukkan bahwa masyarakat di Denmark memiliki motivasi yang tinggi untuk berwirausaha dan adanya dukungan pemerintah yang membuka peluang tersebut. Serta adanya dukungan teknologi yang tinggi dan sumber daya manusia yang memiliki keahlian. Berbagai peluang, ketersediaan teknologi, dan sumber daya manusia mendorong daya saing yang bagus.

Selanjutnya indikator aspiration. Swedia menjadi negara dengan nilai paling tinggi pada indikator ini, sebesar 69,5. Indikator ini mencakup inovasi produk dari wirausaha di negara tersebut, apakah menghasilkan produk baru secara rutin dan terjadi transfer teknologi. Berikutnya bagaimana proses inovasi tersebut, terkait pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Ada pula indikator high growth, internationalization, dan risk capital. Oleh karena itu dapat dikatakan Swedia diantara negara lainnya paling inovatif mengembangkan teknologi dan produk baru.

Pada tahun 2017, Folmer, Rebmann, dan Stephan dari Aston Business School, United Kingdom melakukan survei di wilayah Eropa dimana terdapat negara-negara welfare state, kajian dilakukan tentang bagaimana peran dari welfare state dan juga masyarakatnya dalam pengembangan wirausaha sosial. Diketahui bahwa terdapat solidaritas dari masyarakat di Eropa yang tinggal di negara welfare state terhadap berkembangnya wirausaha sosial. Hasil survei tersebut juga menunjukkan bahwa negara-negara di Eropa yang menganut konsep welfare state memiliki social entrepreneur atau pengusaha sosial lebih banyak. Hal yang menarik adalah ketika negara welfare state yang menyediakan perlindungan sosial universal, ternyata masyarakatnya juga sangat tertarik mengembangkan social entrepreneurship. Serta antusias mendukung berbagai usaha sosial yang berkembang.

Salah satu negara adalah Norwegia dan usaha sosial berkembang selama beberapa dekade ketika negara menganut sistem welfare state.  Negara tersebut dapat dikatakan cukup sejahtera karena angka kemiskinan cukup rendah karena adanya mekanisme jaminan sosial yang dikembangkan oleh negara. Ketika krisis ekonomi datang, negara pun mendukung lebih banyak kerja sama antara pemerintah, sektor privat, dan masyarakat untuk mengembangkan usaha sosial untuk menanggulangi masalah-masalah sosial. Bentuk usaha sosial yang berkembang menyasar kelompok-kelompok rentan dengan isu pemuda dan kesehatan.

Usaha-usaha sosial yang berkembang di sana biasanya difasilitasi oleh inkubator untuk melakukan kolaborasi, kerja sama, dan berinteraksi antar sektor. Hal ini karena dalam pengembangan social entrepreneurship, dibutuhkan kerja sama dan pelibatan banyak pihak (ICF dan RadarAdvies, 2018). Contoh inkubator usaha sosial di Norwegia adalah SoCentral yang memfasilitasi kolaborasi untuk menyelesaikan masalah sosial. Mereka memiliki 230 anggota dari 110 organisasi. Solusi yang dikembangkan oleh usaha-usaha sosial yang tergabung mencapai 50 upaya menyelesaikan masalah.

Selanjutnya ada pula Center for Social Entrepreneurship and Innovation atau SE-Central. Lembaga tersebut membantu pengembangan usaha sosial melalui berbagai kegiatan. Seperti pelatihan kerja, pelatihan kegiatan tentang kreativitas, supervisi, dan memberikan pendampingan kepada kelompok-kelompok yang mengembangkan usaha sosial.

Berkembangnya wirausaha sosial di negara dengan bentuk welfare state menunjukkan bahwa peran kelompok masyarakat tetap dibutuhkan walaupun peran negara sangat dominan. Masyarakat pun memiliki berbagai kebutuhan selain masalah ekonomi mendasar, seperti kesehatan, pengembangan diri, dan lainnya. Melalui usaha sosial berbagai kegiatan positif yang memberikan dampak bagi masyarakat dapat dikembangkan.

Berdasarkan pengalaman negara-negara welfare state di Eropa, diketahui bahwa peran negara dan pihak swasta tetap penting dalam mendukung berkembangnya wirausaha sosial. Serta ada pula peran inkubator yang akan memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya wirausaha sosial di suatu wilayah. Indonesia pun dapat belajar dari bagaimana negara-negara di welfare state mendukung pengembangan wirausaha sosial. Saat ini di Indonesia pun telah mulai muncul program-program pemerintah yang mendukung wirausaha sosial dan inkubasi. Melihat dari negara-negara welfare state yang peran pemerintah cukup dominan, di Indonesia seharunya program-program yang ada dapat lebih intensif mendukung iklim yang bagi tumbuhnya insiatif. Serta masyarakat Indonesia yang memiliki modal sosial seperti gotong royong dan saling tolong menolong dapat menjadi topangan bagi berkembangnya usaha sosial. Seperti dukungan masyarakat di wilayah welfare state dalam menggunakan jasa dan produk usaha sosial di sana.

Referensi

Acs, Szerb, dan Lloyd, 2018. Global Entrepreneurship Index 2018. Washington: The Global Entrepreneurship and Development Institute.  

Andersen, 1990. The Three Worlds of Welfare Capitalism. USA: Pinceton University Press.

Availableat: https://digitalknowledge.babson.edu/fer/vol36/iss15/1

Folmer, E, Rebmann, A. S, and Stephan, U, 2016 " The Welfare State and Social Entrepreneurship: Insight From A Multi-Level Study of European Regions," Frontiers of Entrepreneurship Research: Vol. 36 : Iss. 15 , Article 1.

 

Folmer, Rebmann, Stephan, 2017. “The Welfare State andSocialEntrepreneurship: InsightFrom A Multi-Level Study of European Regions, Babson College Entrepreneurship Research Conference & JSBM.

 

ICF, Radar Advies, (2018), Peer Review on Social Entrepreneurship to tackle unmet socia lchallenges. Norwey: EuropeanCommision.  

Kenton, 2017, Welfare State. Diakses pada 17 Januari 2019 dari https://www.investopedia.com/terms/w/welfare-state.asp

Sepulveda, (2014), “Social Enterprise- A New Phenomenon in the Field of Economic and Social Welfare”, Social Policy & Administration, John Wiley & Sons.

 

Light Fact

Bagaimana Social Entrepreneurship Tumbuh dan Berkembang di Welfare State?

  • Usaha sosial di Eropa sebagai “third sector” atau kritik terhadap keabaian industri dan pemerintah terhadap isu sosial dan lingkungan
  • Munculnya welfare state dengan konsep social democratic: Finlandia, Denmark, Norwegia, dan Swedia
  • Walaupun peran negara sangat dominan dalam isu kesejahteraan, di negara welfare state wirausaha sosial berkembang cukup masif. Bisa ditambahkan diagram 1
  • Gambaran tingginya usaha sosial di welfare state pada beberapa aspek:
    • Finlandia: attitudes pelaku usaha sosial seperti kesadaran peluang, startup skills, risk acceptance, networking, dan cultural support
    • Denmark: abilities seperti opportunity startup, technology absorption, human capital, dan competition
    • Swedia : aspiration terdiri dari inovasi produk, transfer teknologi, high growth, internationalization, dan risk capital
  • Faktor pendukung wirausaha sosial di welfare state:
    • Solidaritas masyarakat mendukung wirausaha sosial
    • Inkubasi seperti SoCentral dan SE-Central di Norwegia

Related Opinion

Hubungi Kami