Melihat Peluang Indonesia sebagai Pionir Pendidikan Wirausaha Sosial

Melihat Peluang Indonesia sebagai Pionir Pendidikan Wirausaha Sosial

28 May 19 Simpan PDF

Wirausaha merupakan kunci bagi masyarakat untuk mendorong penyerapan tenaga kerja, menciptakan solusi yang inovatif maupun mendorong terciptanya teknologi. Namun, perlu diketahui bahwa wirausaha tidak hanya terbatas pada profit-oriented. Profit atau keuntungan merupakan hal yang fundamental untuk keberlangsungan suatu usaha, namun bukan berarti profit merupakan akhir dari segalanya. Hal inilah yang mendasari terciptanya wirausaha sosial. Wirausaha sosial berorientasi dan memastikan agar manfaat dan seluruh keuntungan tersebut juga kembali ke masyarakat melalui misi sosial. Istilah “Wirausaha Sosial” semakin dikenal dan meraih popularitas di masa sekarang (Jilenga, 2017).

Berbagai studi telah menunjukan adanya hubungan antara wirausaha dengan pertumbuhan ekonomi. Penelitian Salgado-Banda (2005) menunjukan bahwa terhadap hubungan yang positif antara wirausaha dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian dari Van Stel et al. (2005) dengan menggunakan data dari Global Entrepreneurship Monitor (GEM) berhasil menunjukan bahwa tingkat aktivitas wirausaha pada perekonomian akan meningkatan pertumbuhan ekonomi. Bagaimana dengan dampak dari wirausaha sosial terhadap pertumbuhan ekonomi? Menurut Aimee Meade (dalam Kazmi et al, 2016) wirausaha sosial tidak hanya menyerap tenaga kerja, namun juga mampu berperan sebagai campaigner dan memberikan advokasi untuk mempekerjakan individu dari kelompok yang terpinggirkan. Di Inggris, wirausaha sosial berkontribusi sebesar 3 persen terhadap PDB dan dari segi jumlah, wirausaha sosial di Inggris telah mencapai lebih dari 100.000 usaha (Social Enterprise UK). Tidak hanya itu, sektor wirausaha sosial mampu mempekerjakan 5 persen dari total orang yang bekerja di Inggris. Mengingat sektor wirausaha sosial mampu berperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan, lantas bagaimana cara menumbuhkan wirausaha sosial? Salah satu caranya adalah melalui pendidikan. Apakah sistem pendidikan di Indonesia telah mengarah kesana?

Indonesia berhasil meraih pencapaian angka partisipasi pendidikan yang luar biasa pada tahun 2000 sampai tahun 2014 dengan konsentrasi di tingkat Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas (Kurniasih et al, 2018). Namun, pendidikan Indonesia belum mampu menciptakan lulusan yang berkualitas. Studi dari Kurniasih et al (2018) menunjukan bahwa terdapat gap yang besar antara kemampuan matematika siswa dengan apa yang seharusnya mereka ketahui dari kurikulum. Hasil dari skor PISA di tahun 2015 yang mengukur kemampuan membaca, matematika dan sains menunjukan bahwa siswa Indonesia berada di ranking terbawah diantara negara lainnya (kurniasih et al, 2018). Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh fokus dari kurikulum pendidikan Indonesia sendiri yang lebih mengedepankan pendidikan karakter dibandingkan kualitas sumber daya manusia. Studi dari RISE menunjukan bahwa para pengambil kebijakan pendidikan tidak terlalu khawatir dengan kualitas akademik yang rendah (Kurniasih et al, 2018). Para pengambil kebijakan tersebut lebih khawatir terhadap masalah degradasi moral, sex bebas, hamil muda dan sebagainya (kurniasih et al, 2018). Padahal, baik pendidikan karakter dan pendidikan akademik sama-sama pentingnya. Kurikulum pendidikan harus mampu mengakomodasi kedua hal tersebut.

Lantas bagaimana peran dari kurikulum pendidikan terhadap  wirausaha di Indonesia?Global Entrepreneurship Development Index (GEDI) menunjukan bahwa Indonesia berada di peringkat ke 94, berada dibawah Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina yang masing-masing menduduki peringkat 27, 58. 71 dan 84. Salah satu indikator dari indeks tersebut diukur melalui kualitas sumberdaya manusia (Human Capital). Indikator kualitas sumberdaya manusia pada GEDI digunakan untuk mengukur kualitas dari wirausaha Indonesia. Nilai dari indikator kualitas sumber daya manusia Indonesia hanya sebesar 0,16, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata nilai negara lain di daerah yang sama yang mencapai 0,56. Menurut Menteri Perdagangan Indonesia Enggartiasto Lukita, salah satu penyebab rendahnya tingkat kewirausahaan adalah sistem pendidikan yang kurang mendorong mahasiswanya untuk berkembang menjadi seorang entrepreneurship (Republika, 2018). Beberapa Negara di Eropa dapat menjadi contoh good practice dalam menerapkan kurikulum berbasis wirausaha, salah satu contohnya adalah Estonia (Farnell et al)

Estonia merupakan negara yang menjadikan pendidikan wirausaha sebagai prioritas utama di dalam kebijakan pendidikan. Pendidikan wirausaha yang diterapkan Estonia merupakan model pendidikan yang memiliki target yang terukur. Berikut adalah fokus kebijakan yang diterapkan Estonia: 1. Memberikan pelatihan kepada para guru mengenai pendidikan wirausaha; 2. Menerapkan kegiatan ekstrakurikuler wirausaha kepada para murid; 3. Mengadakan kegiatan wirausaha antara sekolah dengan masyarakat sekitar sekolah; 4. Memberikan penghargaan kepada sekolah dan guru yang berhasil menerapkan pendidikan wirausaha terbaik sehingga dapat dijadikan contoh best practice; 5. Melakukan pengawasan dan laporan secara berkala agar dapat mengukur dampak dari aktivitas tersebut.

Menurut Klaus Schwab dari World Economic Forum, wirausaha dan pendidikan merupakan dua kesempatan besar yang harus saling terhubung antara satu sama lain. Klaus Schwab berpendapat bahwa membangun manusia merupakan syarat untuk membangun masa depan. Pendidikan merupakan kunci untuk membangun masyarakat yang lebih baik (British Council). Sistem pendidikan harus di-redesign serta harus mampu beradaptasi untuk mengatasi tantangan masalah sosial dan lingkungan (British Council).

Menurut Martin Lackeus dari OECD, pengenalan wirausaha sosial dapat dimulai dari tingkat pendidikan dasar dan menengah. Selanjutnya, pembelajaran subjek yang lebih spesifik dan fokus dapat diajarkan di Universitas. Real Ideas Oganisation (RIO) merupakan contoh organisasi yang sukses dalam mengintegrasikan wirausaha sosial dengan pendidikan. ROI  yang Berbasis di South West England mampu menyediakan kerangka untuk para pemuda yang ingin membangun atau memulai wirausaha sosial. Bekerjasama dengan pemberi donor, sekolah dan Universitas, RIO mampu memberikan pendidikan wirausaha sosial kepada 1000 pemuda di tahun 2016. Fokus pendidikan yang RIO ajarkan adalah membangun pemahaman, keahlian dan antusiasme dari para guru serta murid terhadap wirausaha sosial. Hal tersebut dilakukan agar pendidikan wirausaha sosial RIO dapat terus berlangsung ketika program RIO di sekolah telah selesai. RIO juga berperan dalam menanamkan inovasi dan pendidikan wirausaha sosial ke dalam kurikulum pendidikan di Victoria Park Primary School di Smethwick. RIO mampu menanamkan konsep pembelajaran berbasis prinsip wirausaha sosial ke dalam pedagogi pembelajaran di sekolah tersebut.

Di tingkat Universitas, perkembangan mata kuliah terkait wirausaha sosial meningkat pesat di Amerika. Di akhir 1990an, hanya terdapat empat mata kuliah terkait wirausaha sosial dan sekarang, lebih dari 100 mata kuliah wirausaha sosial ditawarkan  (Seaton Hall University, http://academic.shu.edu/npo/). Menurut Mirabella dan Young (2012), di Amerika Serikat telah ada lebih dari dua belas program yang menawarkan program wirasuaha sosial, contohnya adalah program sertifikasi yang ditawarkan Kelley Business School dan program master di wirausaha sosial oleh American University. Kebanyakan Universitas di Amerika sendiri menawarkan konsentrasi atau spesialisasi di bidang wirausaha sosial di tingkat master. Tidak dapat dipungkiri, Amerika turut menghadapi tantangan dalam mengembangkan model pendidikan wirausaha sosial, yang meliputi kekurangan staf akademik untuk mengajar di bidang wirausaha sosial, masih minimnya penelitian yang berkualitas mengenai wirausaha sosial dan masih adanya ketidakcocokan antara bisnis dan akademik (Professor Donald Kuratko di Bielefeld, 2009, p. 82).

Indonesia memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan melalui wirausaha sosial. Negeri yang kaya dengan segala “masalahnya” ini merupakan ladang bagi pengembangan wirausaha sosial. Tidak hanya itu, Indonesia memiliki modal yang sangat berharga untuk mengembangkan wirausaha sosial yaitu modal sosial. Modal sosial merupakan sumber daya yang melekat dalam hubungan sosial. Statistik modal sosial dari BPS menunjukan bahwa 61,21 persen rumah tangga di Indonesia bersedia membantu tetangga yang membutuhkan pertolongan keuangan di tempat tinggal. Berdasarkan data Podes 2014, 90,93 persen desa/kelurahan di Indonesia juga masih mengadakan kegiatan gotong royong untuk kepentingan umum.

Dengan bonus demografi dan modal sosial yang dimiliki Indonesia, generasi millenial dan generasi Z berpotensi untuk “terjun” ke bidang wirausaha sosial. Para pengambil kebijakan di bidang pendidikan tentu harus jeli melihat potensi ini. Setidaknya terdapat dua tantangan utama bagi pengembangan pendidikan wirausaha sosial di Indonesia. Pertama adalah bagaimana menerapkan kurikulum wirausaha sosial di pendidikan dasar dan kedua adalah bagaimana kurikulum pendidikan wirausaha sosial mampu membentuk pengusaha yang berkarakter dan memiliki modal sosial yang kuat. Saya percaya Indonesia pasti bisa. Sekarang, apakah para pengambil kebijakan pendidikan ini memiliki kemauan untuk membawa Indonesia ke arah sana?

Related Opinion

Hubungi Kami