Mendukung Perubahan: Yang Bisa Dilakukan Kebijakan Publik Untuk Membantu Kewirausahaan Sosial

Mendukung Perubahan: Yang Bisa Dilakukan Kebijakan Publik Untuk Membantu Kewirausahaan Sosial

30 Jun 21 Dendy Raditya A. Simpan PDF

Kewirausahaan sosial sedang berkembang di seluruh dunia (Lepoutre dkk, 2011). Menurut catatan Tadzkia Nurshafira dan Rizky Alif Alvian (2018) semakin pentingnya kewirausahaan sosial di seluruh dunia bisa dilihat dari pembentukan berbagai inisiatif di tingkat lokal, nasional, regional, dan global untuk mempromosikan kewirausahaan sosial, perumusan kebijakan sosial dimaksudkan untuk meningkatkan atau scale-up kewirausahaan sosial (Agapitova dan Linn, 2016; Forum Ekonomi Dunia, 2016, 2017 dalam Nurshafira dan Alvian, 2018); penemuan monitoring dan alat evaluasi untuk mengukur perkembangan global kewirausahaan sosial (Global Entrerpeneurship Monitor, 2009; 2015 dalam Nurshafira dan Alvian, 2018), serta pertumbuhan yang signifikan dari artikel-artikel akademis dan laporan-laporan tentang kewirausahaan sosial di berbagai tempat.

Banyak hal positif yang berhasil dilakukan oleh kewirausahaan sosial. Laporan OECD tahun 2007 yang dieditori oleh Noya A. dan Clarence E., menyatakan bahwa kewirausahaan sosial  terbukti memainkan peran penting dalam mengatasi tantangan sosial, ekonomi dan lingkungan, mendorong pertumbuhan inklusif, meningkatkan kohesi sosial, memelihara modal sosial lokal, mendukung partisipasi demokratis dan memberikan layanan yang berkualitas baik.  Kewirausahaan sosial juga telah menunjukkan ketahanan luar biasa selama krisis ekonomi dan keuangan serta menciptakan lebih banyak pekerjaan bagi mereka yang menganggur akibat krisis tersebut (CIREC, 2012). Data dari GEM (2008), menunjukkan bahwa setiap perusahaan dengan tujuan sosial-ekonomi yang menghasilkan, rata-rata 42 pekerjaan per tahun, sementara perusahaan-perusahaan tradisional menghasilkan rata-rata 28 pekerjaan per tahun.

Semua hal tersebut adalah alasan bagus mengapa kebijakan publik harus mendukung penciptaan usaha sosial dan menumbuhkan kewirausahaan sosial. Dilihat dari perspektif historis, partisipasi Negara di kewirausahaan sosial bukanlah hal baru: Pada tahun 1978, salah satu kesimpulan dari Laporan Komite Wolfenden di Inggris telah menekankan perlunya kerjasama antara negara dan sektor ketiga (Anheier, 2005). Namun, sifat birokrasi pemerintahan yang tidak fleksibel pemerintah sering dibuat pelaksanaan kebijakan sosial tidak efisien. Akibatnya, justru wirausahawan sosial yang sering dicari untuk mengisi kesenjangan yang sebenarnya adalah kegagalan pemerintah dan mekanisme pasar bebas, dengan kata lain alih-alih menolong para wirausahawan sosial, justru selama krisis, pemerintah yang ditolong oleh para wirausahawan sosial (Haughton, 2008).

Lantas apa yang bisa kebijakan publik lakukan untuk mendukung kewirausahaan sosial? Komite Uni Eropa pada tahun 2011 memberikan semacam rumus umum tentang hal yang bisa dilakukan oleh kebijakan publik untuk mendukung kewirausahaan sosial, menurut Komite Uni Eropa kebijakan publik harus menciptakan ekosistem yang memungkinkan untuk mengembangkan kewirausahaan sosial dan memfasilitasi, antara lain, akses ke pendanaan. Pendidikan bagi para pelaku kewirausahaan sosial juga penting. Di Inggris misalnya telah diimplementasikan sekolah bagi para wirausahawan sosial yang sudah terlaksana selama bertahun-tahun (Austin dkk, 2006). Di Hong Kong, contoh kebijakan publik yang diadopsi untuk membantu para wirausahawan sosial adalah dengan sistem mentoring atau konsultasi.

Memformulasikan kebijakan publik yang mampu mendukung kewirausahaan sosial memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar bahkan di negara yang selama ini dianggap sebagai eksportir konsep serta pengetahuan tentang kewirausahaan sosial seperti Inggris. Di Inggris, kewirausahaan sosial mulai menarik perhatian di Inggris pada tahun 1995, namun baru mulai menerima dukungan signifikan pemerintah pada tahun 1997 ketika Partai Buruh yang dipimpin oleh Tony Blair memenangkan pemilihan umum, dan ditandai juga dengan runtuhnya Fordisme (Amin dkk, 2002). Setelah pemilihan umum tahun 1997, beberapa kebijakan untuk mendukung kewirausahaan sosial dilaksanakan, termasuk penijauan kembali pajak untuk perusahaan berbasis kewirausahaan sosial yang  dilakukan oleh Kementerian Keuangan Inggris, kemudian undang-undang tentang charity yang tujuannya adalah untuk menciptakan kerangka hukum modern yang memberikan dukungan dan dorongan untuk yang kuat pada sektor kesukarelawanan yang independen dan beragam, serta pembentukan Agenda Kebijakan Publik untuk sektor ketiga yang berusaha saling menguntungkan antara perusahaan sosial dan Pemerintah (Kendall, 2003).

Melihat contoh-contoh dari belahan dunia lain tersebut, menarik untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia –sebuah negara yang menurut Tadzkia Nurshafira dan Rizky Alif Alvian (2018) selama ini melihat kewirausahaan sosial sebatas untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agregatif bukan untuk menyelesaikan permasalahan sosial seperti di negara-negara Utara- untuk mendukung kewirausahaan sosial. Yang jelas kita tidak mau kutipan dari seorang pemikir fundamentalis pasar neoliberal, Milton Friedmen, bahwa “pemerintah tak pernah belajar, hanya masyarakat yang belajar” benar-benar terjadi.

*Artikel ini telah pertamakali dimuat di chub.fisipol.ugm.ac.id

*sumber gambar: polsis.uq.edu.au

Related Opinion

Hubungi Kami