Sebagaimana kita tahu bersama bahwa pendidikan merupakan hal mendasar dari kemajuan masyarakat. Pendidikan juga tidaklah selalu berarti hanya bisa didapatkan ketika kita duduk di bangku sekolahan. Pendidikan itu memiliki arti yang sangat luas. Apalagi dalam bidang wirausaha, kesuksesan tidak hanya terbatas pada setinggi apa tingkat pendidikan yang pernah ia kenyam. Lebih dari pada itu, pendidikan ialah soal bagaimana kita belajar dari setiap hal yang ada di lingkungan sekitar kita, bisa dari pengalaman orang lain, media massa, media daring, bahkan dari alam pun bisa. Jadi, sekali lagi, belajar adalah kunci dari pendidikan itu sendiri.

Tak ubahnya di bidang pelajaran yang lain, pendidikan juga menjadi salah satu faktor penting –bahkan utama– di dalam proses perubahan perilaku masyarakat. Hal demikian berlaku juga untuk kawan desa ketika kamu ingin menginisiasi suatu gerakan perubahan dalam bentuk apa pun. Mengubah mindset atau pola pikir masyarakat adalah hal utama dan pertama yang harus dilakukan kawan desa ketika membangun suatu gerakan perubahan. Oleh sebab itulah edukasi menjadi sangat diperlukan bagi masyarakat, terutama dalam hal mewujudkan lingkungan yang bersih nan sehat melalui pengelolaan dan pemanfaatan sampah.

Edukasi ini pun hendaknya berangkat dan ditujukan untuk tiga hal, yakni akal, hati, dan perilaku. Berikut adalah penjelasan dari ketiga hal tersebut:

1. Edukasi akal, yaitu kegiatan pendidikan atau upaya untuk mendidik masyarakat yang ditujukan untuk memperbaiki atau setidaknya menambah pengetahuan masyarakat tentang suatu hal. Oleh karena konteks bahasan ini terkait dengan upaya mengelola dan memanfaatkan sampah, maka cara yang dapat dilakukan untuk edukasi akal ini adalah dengan memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai dampak negatif dari membakar sampah dan menimbun sampah di sekitar rumah. Pengetahuan masyarakat merupakan hal utama dan pertama yang harus disasar terlebih dahulu. Apabila masyarakat sudah mengetahui dampak negatifnya dari sampah, maka sangat dimungkinkan apabila gerakan perubahan dalam mengelola sampah akan semakin mudah untuk dilakukan.

2. Edukasi hati, yaitu proses mendidik masyarakat yang menyasar pada kepercayaan dan keyakinan mereka terhadap suatu hal. Edukasi ini pun dapat dilakukan dengan cara meyakinkan masyarakat agar tidak lagi membakar dan menimbun sampah sembarangan dan mengubahnya menjadi suatu kegiatan yang lebih mengarah pada pemanfaatan sampah itu sendiri. Ketika masyarakat sudah memiliki pengetahuan yang mumpuni mengenai sampah, maka kesadaran untuk tidak membakar dan menimbun sampah sembarangan pun dapat dilaksanakan dengan baik. Pun dapat menjadi cikal bakal dari proses pengelolaan dan pemanfaatan sampah itu sendiri.

3. Edukasi perilaku, yakni proses mendidik masyarakat untuk mendorong terjadinya perubahan perilaku mereka terhadap suatu hal. Dalam konteks ini, cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengajak masyarakat agar bertindak secara bersama untuk beralih dari yang awalnya membakar dan menimbun sampah menjadi mengelola dan memanfaatkan sampah itu sendiri. Ketika perilaku yang demikian sudah dapat dilaksanakan, maka visi gerakan perubahan untuk mewujudkan lingkungan yang bersih nan sehat pun dapat segera terwujud.

Kemudian untuk melancarkan proses ketiga bentuk edukasi tersebut, kiranya terdapat tiga cara mudah yang bisa kawan desa lakukan, antara lain:

1. Memberikan bukti-bukti nyata terkait dampak negatif dan positif dari perilaku masyarakat dalam memperlakukan sampah, baik itu yang membakar dan menimbun maupun yang mengelola, mengolah, dan memanfaatkan sampah. Seluruh dampak tersebut harus dihadirkan dan ditunjukkan secara langsung ke masyarakat selama proses edukasi, seperti dalam kegiatan sosialisasi, penyuluhan, bahkan mungkin ketika pengajian. Sehingga masyarakat pun dapat yakin untuk memilih perilaku manakah yang semestinya mereka miliki ketika memperlakukan sampah.

2. Memberikan ilustrasi pengelolaan dan pemanfaatan sampah oleh seseorang yang dapat dipercaya masyarakat, seperti oleh tokoh agama, tokoh pendidikan, ketua RT dan RW, dan lain sebagainya. Cara ini juga menjadi penting bagi kawan desa karena terkadang masyarakat cenderung lebih mudah dan mau untuk melaksanakan apa yang menjadi materi edukasi apabila yang mempraktikkannya secara langsung adalah seseorang yang telah mereka percayai atau yang menjadi panutan mereka di masyarakat.

3. Menempatkan kegiatan edukasi ini pada berbagai bentuk permainan dan kegiatan sehari-hari di masyarakat, seperti kerja bakti, pembuatan wahana permainan berbahan dasar olahan sampah ketika acara peringatan hari kemerdekaan, dan masih banyak lainnya. Cara ini juga tidak kalah pentingnya dengan kedua cara yang sebelumnya. Sebab dengan cara ini, masyarakat akan secara tidak langsung melaksanakan proses belajar mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sampah. Terlebih lagi cara ini akan sangat cocok bagi mereka yang masih kanak-kanak dan remaja yang cenderung masih menyukai kegiatan pembelajaran melalui wahana permainan dibanding kegiatan sosialisasi atau penyuluhan yang terkesan membosankan.

Sebelum materi ini berakhir, silakan kawan desa diskusikan terlebih dahulu pada kolom komentar di bawah ini mengenai permainan apa sajakah yang sekiranya dapat kawan desa jadikan sebagai media pembelajaran dalam mengelola dan memanfaatkan sampah. Pada materi selanjutnya, akan dibahas mengenai beberapa tips yang dapat kawan desa lakukan untuk menjaga keberlanjutan dari gerakan perubahan itu sendiri. Sampai jumpa lagi pada materi pembahasan berikutnya!

Studi Kasus

Berangkat dari berbagai permasalahan yang sering kali muncul akibat sampah di lingkungan Dusun Sukunan, Kelurahan Banyuraden, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Iswantoro (salah seorang perintis desa wisata sukunan) telah berhasil menggerakkan masyarakat sekitar untuk mengelola sendiri sampahnya (swakelola). Untuk menerapkan swakelola sampah ini, ia harus mengubah terlebih dahulu persepsi masyarakat setempat terkait sampah melalui serangkaian kegiatan edukasi.

Pada praktiknya, Iswantoro bersama dengan beberapa rekannya memulai proses edukasi ini melalui tiga tahapan, antara lain: (1) Mengubah kesadaran akal (edukasi akal); (2) Mengubah kesadaran hati (edukasi hati), dan; (3) Mengubah kesadaran perilaku (edukasi perilaku). Untuk mengubah kesadaran akal, mereka memulainya dengan cara memberikan pengetahuan kepada masyarakat secara terus-menerus melalui berbagai forum kemasyarakatan mengenai dampak negatif dari membakar sampah dan menimbun sampah di sekitar rumah. Kemudian untuk mengubah kesadaran hati, mereka berusaha untuk meyakinkan masyarakat agar tidak lagi membakar dan menimbun sampah sembarangan dan mengubahnya menjadi suatu kegiatan yang lebih mengarah pada pemanfaatan sampah itu sendiri. Proses ini tentunya juga melibatkan berbagai tokoh masyarakat di Sukunan, mulai dari ketua RT, ketua RW, tokoh agama, hingga tokoh pendidikan setempat. Sedangkan untuk mengubah kesadaran perilaku, mereka mengajak dan melibatkan masyarakat secara langsung di dalam mengelola dan memanfaatkan sampah yang dimediasi melalui berbagai kegiatan kemasyarakatan di Sukunan.

 Proses edukasi tersebut berlangsung cukup lama, terhitung sejak tahun 1990-an. Namun seiring berjalannya waktu, mereka akhirnya berhasil mengubah pemahaman dan perilaku masyarakat dari yang awalnya “membuang dan membakar sampah” menjadi “mengelola, mengolah, dan memanfaatkan sampah” itu sendiri. Kini, Sukunan menjadi wilayah yang memiliki lingkungan yang bersih, sehat, dan terbebas dari sampah yang berserakan. Pun telah menjadi wilayah percontohan bagi wilayah lainnya dan berhasil mendapatkan banyak penghargaan dari berbagai institusi yang ada sebagai Desa Wisata “Lingkungan” Sukunan.

Referensi

Green. W. L., & Kreuter, W.M., “Health promotion as a public health strategy for the 1990s. Annual Review of Public Health. 11. p. 319-334. doi: https://doi.org/10.1146/annurev.pu.11.050190.001535.

Hubungi Kami