Terkadang sumber masalah dari berbagai persoalan itu terletak pada kesadaran diri masing-masing. Sama halnya dengan permasalahan sampah yang ada di Desa Sukunan, baik sampah organik, anorganik, dan kotoran makhluk hidup. Sampah anorganik yang sebagian besar adalah plastik sering ditemui di bantaran sungai, di pinggir jalan, dan area persawahan warga, bahkan hingga merusak padi. Bagi sebagian masyarakat di Desa Sukunan fenomena sampah tersebut perlu diselesaikan. Tapi mayoritas masyarakat di sana, justru masih menganggap itu sebagai fenomena yang lumrah. Sehingga wajar apabila perlakuan mereka terhadap sampah masih hanya sebatas membuang dan membakar sampah saja tanpa memikirkan hal lainnya. 

Berbeda dengan sebagian besar masyarakat lainnya, sebagian kecil masyarakat di Desa Sukunan justru sudah mulai memikirkan bagaimana cara yang tepat dalam memperlakukan sampah. Pola pikir mereka dalam memperlakukan sampah juga telah berubah, dari yang awalnya “membuang dan membakar sampah” menjadi “mengelola dan memanfaatkan sampah”. Tetapi, untuk menciptakan sebuah perubahan, tidak cukup jika hanya sebagian masyarakat yang memiliki pola pikir seperti itu. Maka perlu ada upaya menyebarluaskan dan menginternalisasi persepsi pengolahan sampah ramah lingkungan kepada seluruh warga Desa Sukunan, agar tercipta lingkungan yang bersih dan sehat.

Hal demikian juga kiranya sejalan dengan pandangan teoritis yang menjelaskan perihal kesadaran. Sebagaimana Paulo Freire (1999) yang telah mengkategorikan kesadaran manusia ke dalam tiga jenis berdasarkan tingkatannya masing-masing, yakni kesadaran misitis atau bisu, kesadaran naif atau semi-transitif, dan kesadaran kritis atau transitif. Berikut ini adalah penjelasan singkat dari ketiga jenis kesadaran tersebut yang sekiranya dapat membantu kawan desa ketika bermaksud akan membuat perubahan bagi masyarakat di sekitar kamu :

1. Kesadaran misitis atau bisu

Pada jenis ini, masyarakat itu diam, maksudnya mereka dilarang untuk ambil bagian secara kreatif dalam proses perubahan sosial. Masyarakat hanya sebatas mengetahui bahwa dirinya ada, namun karena adanya mitos dan tekanan yang menutupinya, masyarakat tidak menyadari bahwa keberadaan dirinya dan keterlibatannya bisa memberikan dampak yang signifikan pada terjadinya perubahan sosial. Sebagai akibatnya, masyarakat menganggap bahwa fakta atau fenomena yang ada merupakan sesuatu yang lumrah dan tidak perlu untuk dievaluasi, meskipun menimbulkan dampak negatif bagi kehidupannya. 

2. Kesadaran naif atau semi-transitif

Kesadaran jenis ini ditandai dengan kondisi masyarakat yang masih belum mandiri. Sehingga mereka masuk pada ketaatan semu yang merupakan suatu kondisi yang seolah-olah mengikuti arus, tetapi sebenarnya tidak. Dalam jenis ini, pemahaman masyarakat atas realitasnya masih kurang. Mereka masih terkungkung dalam ketakutannya. Hal ini disebabkan oleh kurangnya keterlibatan masyarakat di dalam memahami realitasnya sendiri. Mereka masih menganggap bahwa realitas yang ada tersebut masih berada di luar kenyataan mereka yang semestinya harus dihadapi.

3. Kesadaran kritis atau transitif

Dalam jenis ini, masyarakat sudah mulai paham bahwa keberadaan diri dan keterlibatannya dapat memberikan dampak bagi terjadinya perubahan sosial. Masyarakat juga sudah bisa memahami bahwa realitasnya dapat diubah melalui keterlibatannya. Kesadaran seperti ini telah dapat menggerakkan masyarakat melalui tindakan dan proses berpikirnya secara aktif untuk mengubah realitas yang menurutnya tidak sesuai. Sederhananya, masyarakat sudah mulai bisa terlibat secara aktif di dalam proses perubahan sosial yang ada. 

Lalu bagaimana caranya mengubah masyarakat yang masih berada pada kesadaran misitis atau bisu ke kesadaran kritis atau transitif? Mari kita bahas lebih lanjut. Untuk mengubah masyarakat berkesadaran misitis atau bisu menjadi masyarakat berkesadaran kritis atau transitif diperlukan adanya keterlibatan masyarakat terlebih dahulu di dalam memahami bahwa dirinya dan tindakannya dapat memberikan dampak signifikan bagi terjadinya perubahan sosial. Namun perubahan tersebut juga tidaklah mudah dan cepat apabila masyarakat masih belum mandiri. 

Oleh sebab itu, masyarakat harus terus didorong dan dimotivasi melalui pemberian pengetahuan, ajakan secara langsung maupun tidak langsung, dan sering dilibatkan di setiap kegiatan di masyarakat. Melalui cara-cara tersebut, perlahan namun pasti, kesadaran masyarakat pun akan berubah. Mereka sudah tidak akan lagi bersikap diam, tetapi justru menjadi sangat aktif di dalam membangun dan menciptakan perubahan sosial itu sendiri. Sehingga dapat dikatakan di sini bahwa kesadaran merupakan aspek penting ketika kita ingin melakukan perubahan untuk masyarakat. Kesadaran menjadi faktor utama yang menentukan arah kehidupan masyarakat kita.

Berangkat dari berbagai permasalahan yang seringkali muncul akibat sampah di lingkungan Dusun Sukunan, Kelurahan Banyuraden, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Iswantoro (perintis desa wisata sukunan) telah berhasil menggerakkan masyarakat sekitar untuk mengelola sendiri sampahnya (swakelola). Untuk menerapkan swakelola sampah ini, ia harus mengubah terlebih dahulu persepsi masyarakat setempat terkait sampah. 

Pada praktiknya, Iswantoro bersama dengan beberapa rekannya memulai proses penyadaran melalui tiga tahapan, antara lain: (1) Mengubah kesadaran akal; (2) Mengubah kesadaran hati, dan; (3) Mengubah kesadaran perilaku. Untuk mengubah kesadaran akal, mereka memulainya dengan cara memberikan pengetahuan kepada masyarakat secara terus-menerus melalui berbagai forum kemasyarakatan mengenai dampak negatif dari membakar sampah dan menimbun sampah di sekitar rumah. Kemudian untuk mengubah kesadaran hati, mereka berusaha untuk meyakinkan masyarakat agar tidak lagi membakar dan menimbun sampah sembarangan dan mengubahnya menjadi suatu kegiatan yang lebih mengarah pada pemanfaatan sampah itu sendiri. Proses ini tentunya juga melibatkan berbagai tokoh masyarakat di Sukunan, mulai dari ketua RT, ketua RW, tokoh agama, hingga tokoh pendidikan setempat. Sedangkan untuk mengubah kesadaran perilaku, mereka mengajak dan melibatkan masyarakat secara langsung di dalam mengelola dan memanfaatkan sampah yang dimediasi melalui berbagai kegiatan kemasyarakatan di Sukunan. 

 Proses penyadaran tersebut berlangsung cukup lama, terhitung sejak tahun 1990-an. Namun seiring berjalannya waktu, mereka akhirnya berhasil mengubah pemahaman masyarakat dari yang awalnya “membuang dan membakar sampah” menjadi “mengolah dan memanfaatkan sampah” itu sendiri. Kini, Sukunan menjadi wilayah yang memiliki lingkungan bebas sampah, bersih, dan sehat. Pun telah menjadi wilayah percontohan bagi wilayah lainnya dan berhasil mendapatkan banyak penghargaan dari berbagai institusi yang ada.

Sampai di sini pembahasan kita kali ini. Seperti biasa, sebelum materi ini berakhir, silahkan kawan desa diskusikan bersama di kolom komentar terkait kesadaran jenis apa yang dimiliki oleh masyarakat di sekitar kamu dan apa landasannya kamu memasukkan masyarakat tersebut ke dalam kategori kesadaran itu. Pada materi berikutnya, akan diberikan pemahaman terkait pentingnya mengubah masyarakat melalui suatu gerakan perubahan. Semoga materi ini dapat membantu kawan desa di dalam memahami pentingnya mengubah kesadaran masyarakat. Sampai juga kembali pada materi selanjutnya!

Hubungi Kami